HUMANIORA – (7/7/2025) Di tengah derap revolusi teknologi dan derasnya arus globalisasi, ilmu humaniora tampil sebagai salah satu pilar penting yang tidak bisa diabaikan. Hal ini ditegaskan oleh Tantowi Yahya dalam forum Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kompetensi, Peluang, dan Tantangan Global Mahasiswa Fakultas Humaniora di Abad 21”, yang digelar Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada Senin, 7 Juli 2025. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring dan diikuti oleh jajaran pimpinan, dosen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa dari dua program studi yang ada di fakultas tersebut: Bahasa dan Sastra Arab serta Sastra Inggris.
Baca juga:
- Humaniora Hadirkan Tantowi Yahya Bahas Kompetensi Global Mahasiswa di Abad 21
- Komunikasi Jadi Bekal Strategis Mahasiswa Humaniora Jalani PKL
Dalam forum tersebut, Tantowi Yahya tampil bukan sekadar sebagai tokoh publik, tetapi sebagai narasumber yang membawa napas panjang pengalaman—mulai dari dunia hiburan, diplomasi, hingga posisi strategisnya saat ini sebagai Presiden Komisaris Kawasan Ekonomi Khusus Kura Kura Bali sekaligus Presiden United In Diversity (UID) Foundation. Ia menyampaikan, perjalanan kariernya yang penuh warna, dari seorang resepsionis, entertainer, hingga diplomat, ternyata berakar pada satu kompetensi yang konsisten ia pegang teguh: komunikasi.
“Kalau saya punya satu modal hidup yang membuat saya bertahan dan melangkah sejauh ini, itu adalah komunikasi. Saya bisa berdiri di mana pun karena public speaking,” ujar Tantowi. Ia menekankan bahwa ilmu komunikasi, yang merupakan inti dari humaniora, adalah salah satu ilmu paling penting untuk menjawab tantangan zaman. “Banyak yang salah mengira, untuk sukses kita harus menguasai eksakta. Padahal, kemampuan soft skill dari ilmu humaniora justru menjadi kunci keberhasilan,” tambahnya.
Dalam paparannya, Tantowi menyoroti konteks global abad ke-21 yang sangat menantang, namun sekaligus menawarkan peluang besar bagi mereka yang mampu beradaptasi. Ia menjelaskan bahwa kita saat ini tengah memasuki era yang disebutnya sebagai “Zaman Kecerdasan”—sebuah fase ketika antara tahun 2025 hingga 2030, diprediksi akan muncul 170 juta lapangan kerja baru dan hilangnya sekitar 92 juta lainnya. Dalam kondisi ini, hanya mereka yang mampu berpikir sistematis, komunikatif, dan adaptif terhadap teknologi yang akan bertahan dan unggul.
Namun, ia mengingatkan bahwa penguasaan teknologi saja tidak cukup. “Jika kita terlalu berpegang pada teknologi dan meninggalkan nilai-nilai humaniora, maka kita akan berubah menjadi mesin tanpa etika,” ujarnya. Tantowi menyampaikan bahwa keberlangsungan hidup yang baik bergantung pada keseimbangan antara relasi manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Oleh karena itu, peran ilmu humaniora sangat penting dalam membentuk karakter, empati, dan tanggung jawab sosial di tengah krisis global seperti perubahan iklim, krisis identitas, serta pergeseran nilai akibat perkembangan teknologi.
Tantowi juga mengulas sejumlah kompetensi kunci yang wajib dimiliki mahasiswa humaniora saat ini, seperti kemampuan berpikir kritis dan reflektif, kerja sama lintas budaya, kecakapan etika digital, serta kemampuan menyampaikan narasi yang bermakna. Storytelling, menurutnya, merupakan soft skill utama yang akan semakin menentukan arah karier di masa depan.
Lebih jauh, ia merekomendasikan agar kurikulum humaniora tidak hanya bertumpu pada teori, melainkan juga terintegrasi dengan teknologi dan kebutuhan zaman. Ia menyarankan penguatan modul seperti Cultural Diplomacy, Global Citizenship, Etika Digital, hingga Strategic Narrative and Foresight, serta penerapan project-based learning yang melibatkan universitas mitra internasional.
Di hadapan peserta FGD, Tantowi juga mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi mahasiswa dan institusi pendidikan tinggi saat ini sangat konkret. Ketimpangan digitalisasi antara dosen dan mahasiswa, dominasi kecerdasan buatan yang penuh bias budaya, hingga ketatnya persaingan global, menurutnya, menjadi alarm bahwa kampus harus segera berbenah. “Digitalisasi adalah kehendak zaman yang tidak bisa ditolak. Kampus yang tidak adaptif terhadap dunia digital akan tertinggal,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya mahasiswa memiliki comparative advantage, seperti kemampuan bahasa asing, pemahaman budaya, serta skill berpikir dan berbicara sistematis. “Jurusan hanya menjadi landasan. Yang membuat kalian unggul adalah bagaimana kalian berpikir dan bicara secara sistematis. Sayangnya, kemampuan ini belum diajarkan secara masif,” ujarnya.
Menutup sesi, Tantowi Yahya kembali menekankan bahwa komunikasi adalah akar dari segala persoalan, sekaligus jembatan menuju kesuksesan. “Banyak orang tak sadar, komunikasi itu bukan sekadar menyampaikan pesan. Ia adalah alat pengaruh, alat penyelesai masalah, dan senjata narasi. Kalau komunikasi kita baik, maka banyak hal akan lebih mudah tercapai,” pungkasnya.
Melalui forum ini, Fakultas Humaniora menunjukkan keseriusannya dalam menyiapkan mahasiswa agar tidak hanya siap menghadapi tantangan global, tetapi juga mampu memberikan kontribusi bermakna bagi masyarakat internasional—dengan bekal utama: kekuatan komunikasi dan kemanusiaan. (al)