HUMANIORA – (3/6/2025) Dekan Fakultas Humaniora Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang sekaligus Ketua Asosiasi Dosen Ilmu-ilmu Adab (ADIA), M Faisol menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam 2nd International Conference on Islamic Civilization & Culture 2025 yang diselenggarakan oleh Universiti Teknologi MARA (UiTM) Malaysia. Konferensi prestisius ini digelar pada Kamis, 29 Mei 2025, di Casuarina Hotel, Meru Ipoh, Perak.
Baca juga:
- Keren! Mahasiswa Humaniora Raih Juara 1 Khitobah Tingkat Nasional
- Tunjukkan Prestasi di Bidang Insya’, Arina Fitriya Azhari Raih Juara di Festival Bahasa Arab Nasional
Dalam forum ilmiah bertaraf internasional tersebut, M. Faisol menyampaikan paparan bertajuk “Distopia Teknologis dan Masa Depan Peradaban: Sastra Cyberpunk Sebagai Ktirik”. Dengan pendekatan interdisipliner yang memadukan kajian sastra, etika, dan teknologi, ia menyoroti dampak laten dari perkembangan teknologi terhadap peradaban manusia, terutama dalam konteks sosial dan budaya Islam kontemporer.
Faisol mendasarkan analisisnya pada novel Utopia karya Ahmad Khaled Tawfiq, seorang penulis Arab terkemuka yang dikenal karena karya-karyanya bertema futuristik dan kritis terhadap realitas sosial. Melalui novel tersebut, ia mengungkapkan tiga bentuk utama distopia yang muncul akibat dominasi teknologi tanpa kendali etis.
Bentuk pertama adalah distopia sosial-ekonomi, yang tercermin dalam kesenjangan kelas yang ekstrem dan normalisasi terhadap ketidakadilan. Menurut M Faisol, hal ini menggambarkan bagaimana teknologi dapat memperkuat ketimpangan dan mengasingkan kelompok masyarakat tertentu dari akses terhadap sumber daya dan kehidupan yang layak.
Bentuk kedua yang disoroti adalah distopia ideologis-psikologis. Dalam hal ini, teknologi digunakan untuk mengendalikan kesadaran masyarakat, baik melalui penyalahgunaan narkoba maupun manipulasi agama. M Faisol menekankan bahwa kontrol kesadaran seperti ini mengancam kebebasan berpikir dan martabat manusia sebagai makhluk spiritual dan rasional.
Adapun bentuk ketiga adalah distopia totaliter, yang ditandai oleh proses dehumanisasi dan kehancuran identitas personal. Dalam masyarakat seperti yang digambarkan dalam Utopia, manusia diperlakukan layaknya objek tanpa nilai, dan relasi sosial kehilangan dimensi moralnya. Teknologi, jika dilepaskan dari tanggung jawab etis, justru mempercepat degradasi nilai kemanusiaan.
M Faisol mengingatkan bahwa distopia bukan semata-mata ancaman masa depan, tetapi proses yang sedang berlangsung. “Distopia hadir ketika kita mulai kehilangan rasa marah terhadap ketidakadilan, rasa malu terhadap kehinaan, dan rasa takut terhadap hilangnya makna,” tegasnya dalam sesi plenary tersebut.
Dalam konteks Revolusi Industri 5.0 yang kini digaungkan, di mana integrasi antara manusia dan mesin menjadi fokus utama, M Faisol mengajak para intelektual Muslim untuk mengedepankan etika dan nilai dalam pembangunan peradaban digital. Ia menilai bahwa novel Utopia menjadi peringatan literer agar teknologi tidak menjadi alat pembunuh kemanusiaan.
Untuk itu, M Faisol menyerukan pentingnya pembangunan orientasi peradaban baru yang berbasis pada keadilan sosial, empati, dan spiritualitas etis. “Kita perlu memastikan bahwa teknologi melayani kemanusiaan, bukan sebaliknya,” tandasnya di hadapan peserta konferensi dari berbagai negara.
Kehadiran M. Faisol dalam konferensi ini mendapat apresiasi tinggi dari panitia dan peserta, karena menghadirkan perspektif baru yang menggabungkan kajian sastra Arab kontemporer dengan refleksi filosofis tentang masa depan umat manusia. Konferensi ini menjadi ajang penting bagi pertukaran gagasan dan kolaborasi akademik antara Indonesia dan Malaysia dalam ranah studi peradaban dan budaya Islam global. (al)